4.29.2011

'Seva', Seni Melepaskan Pamrih

'Seva' (dibaca: sewa) adalah bahasa sanskrit, kependekan dari 'karseva', yang secara harafiah diartikan sebagai pelayanan tanpa pamrih yang bisa diwujudkan dengan berbagai tindakan.

Dalam tradisi Sikh, seorang yang menerima, membersihkan dan menjaga sepatu para peziarah di Gurdwara adalah salah satu contoh sevadar, atau orang yang sedang melakukan seva. Pengalaman ketika mengunjungi Gurudwara di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat, sebelum memasuki Gurudwara, kita semua wajib menitipkan sepatu di tempat penitipan sepatu yang dijaga oleh beberapa orang. Ketika mengulurkan alas kaki, perasaan karuan tidak enak. Namun penerima sepatu itu seperti sedikit memaksa dan berkata tanpa kata bahwa saya sangat bahagia bisa melayani anda dengan menyimpan dan menjaga sepatu anda baik-baik.


Lain lagi dengan komunitas Sai Baba. Bhakta Sai Baba biasanya rutin melakukan seva di panti asuhan, panti jompo ataupun bersedekah untuk lingkungan di sekitar Sai Center. Waktu itu, di sebuah panti asuhan di daerah Kaliurang, Jogjakarta, saya berkesempatan bergabung dalam seva yang diselenggarakan oleh Sai Center Jogjakarta. Mereka berniat memberikan hiburan dan bersedekah makanan bagi. Alhasil, siang itu kami habiskan bermain musik dan makan siang bersama teman-teman di panti asuhan tersebut.

Satu lagi komunitas yang mempunyai kegiatan seva, yaitu Komunitas Anand Ashram. Seva di Anand Ashram biasanya diwujudkan dengan program Medical Camp yaitu pengobatan gratis dan pembagian susu bagi anak sekolah. Juga sebuah program, yang menurut saya pionir dilakukan di Indonesia, Pusat Pemulihan Stres dan Trauma Keliling (PPSTK). PPSTK bertujuan untuk membantu masyarakat mengembalikan ketenangan diri sehingga bisa menghadapi trauma pasca bencana dengan baik.

Konsep seva atau pelayanan tanpa pamrih ini juga tidak asing dalam budaya nusantara, gotong royong, dimana sekumpulan orang melakukan pelayanan untuk kepentingan bersama dalam sebuah masyarakat dan lingkungan luas. Di lingkungan tempat tinggal saya, di kota Jogjakarta, masih rutin diselenggarakan kerja bakti yang diinstruksikan oleh rukun tetangga dan rukun warga setempat. Memang kerja bakti yang dianjurkan adalah membersihkan lingkungan di sekitar rumah warga masing-masing, namun tidak terlepas membersihkan fasilitas umum di sekitarnya juga, seperti jalan umum, selokan, taman kota dan pos keamanan.

Bertindak untuk kebaikan bersama. Seperti itulah setidaknya gambaran dari pelayanan tanpa pamrih ini. Tidak terbatas pada latar belakang komunitas, budaya maupun agama. Namun satu pertanyaannya adalah kapan terakhir kalinya kita bertindak untuk kebaikan bersama ?

Bagi saya pribadi, sudah lama sekali dari terakhir kalinya saya terlibat dalam pelayanan tanpa pamrih. Terlalu lama bahkan dan seringkali merasa eneg sama diri sendiri yang terlampau egois.

Satu kali tempo, saya pernah ditawari sebuah metode bersedekah untuk sebuah badan sosial di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa. Mengusung kepraktisan dan kemajuan jaman, metode ini hanya melibatkan sebuah pulpen untuk menandatangani persetujuan dan kartu kredit untuk mengkreditkan sejumlah uang setiap bulannya yang digunakan untuk kebaikan pendidikan anak-anak.

Tertarik sangat pada program-programnya, saya bertanya apakah ada kegiatan yang secara langsung saya bisa ikuti. Jawabannya adalah tawa terbahak. Bingung. Dan kebingungan saya yang tercetak jelas menghentikan tawa itu dan memburu yang bersangkutan untuk menjelaskan kembali inti program yang berupa kepraktisan dalam bersedekah.

Bukan bermaksud menyinggung atau mengecilkan nilai sedekah melalui uang, namun menurut saya pelayanan tanpa pamrih sedikit berbeda dengan bersedekah melalui uang. Berbeda dalam keterlibatan. Langsung terlibat sulit digantikan dengan sebuah nilai mata uang.

Tawa terbahak dari promotor program itu jadi membuat saya berpikir. Di tengah arus dan dinamika kehidupan masyarakat dalam usia produktif di Jakarta ini sering kali membuat lupa untuk berlatih menafikan ego melalui pelayanan tanpa pamrih. Saya salah satunya.

Kelupaan ini tidak mengurangi kebaikan yang ada dalam masyarakat, dalam dunia ini. Namun justru mengurangi kebaikan dalam diri karena lupa ini berbuah pupuk untuk ego. Ketika ego terbiak dengan baik, hidup tidak akan menjadi lebih baik.

Teringat kembali karuan perasaan ketika menyerahkan alas kaki ke penjaga alas kaki di depan Gurudwara. Karuan perasaan yang bisa memicu kerendahan hati. Dan saya masih jauh dari rendah hati, butuh banyak pemicu lagi.

No comments: