Artikel Bapak Anand Krishna yang berjudul ‘
Bapak Anand Krisha mencontohkan sebuah pemberitaan yang memuat Ba’asyir yang mengobarkan kebencian terhadap orang asing, dalam hal ini orang
Film ‘Fitna’ dan pemberitaan mengenai Ba’asyir ini adalah contoh gerakan ekstrimis yang kebetulan terekam oleh media dan menjadi isu di kalangan masyarakat, baik nasional maupun internasional. Namun contoh lain dari gerakan ekstrimis yang terjadi di masyarakat jauh lebih banyak. Tidak terekam di media namun sangat meresahkan. Seperti gerakan ‘gerilya’ untuk mensosialisasikan Negara Islam
Gerakan ekstrimis ini membawa dampak keresahan pada masyarakat, karena metode yang mereka gunakan berupa intimidasi. Namun, setelah sekian waktu berlalu, dari gerakan ekstrimis ini muncul sampai mewabah dan terang-terangan seperti sekarang ini, pemerintah dan para pemimpin bangsa ini seperti acuh dan menutup mata. Di sisi lain kekuatiran akan perpecahan dan disintegrasi semakin nyata.
Untuk itu, momen setelah Bapak Presiden SBY mengeluarkan pernyataan pelarangan peredaran film ‘Fitna’ di Indonesia adalah momen yang sangat tepat untuk kembali bertanya kepada Bapak Presiden SBY, bagaimana dengan ekstrimis yang mewabah di Indonesia ? Akankah ada pernyataan dan tindakan yang jelas dari pemimpin bangsa ini untuk menghadapi gerakan ekstrimis ini agar tidak menjadi bibit perpecahan dan disintegrasi bangsa Indonesia tercinta ? Karena pada dasarnya kebebasan berkeyakinan adalah hak setiap insan manusia. Sedangkan budaya lokal adalah perekat, pemersatu bangsa yang tidak boleh dilupakan sama sekali. Dan toleransi adalah salah satu budaya lokal yang telah menyatukan beribu kepulauan di Indonesia selama ini. Toleransi pun masih dapat dikembangkan menjadi apresiasi, yang niscaya akan menyatukan seluruh rakyat Indonesia untuk sekian tahun mendatang dan mewujudnya Indonesia Jaya!
*dipublikasikan juga di http://www.oneearthmedia.net/
No comments:
Post a Comment